Selasa, 13 Maret 2012

Dari Lapak, Sucipto Jadi Raja: Kisah pengusaha pengumpul kertas dari Yogyakarta


Oleh Christiantoko, R. Kristiawan (Yogyakarta)

Ayahnya hanya seorang petani miskin. Karena itu, sejak kecil Sucipto sudah terbiasa kerja keras. Nasibnya berubah setelah menjadi pengumpul kertas. Ia merasa bangga karena berhasil mewujudkan cita-cita bapaknya: hidup enak.

Punya deposito miliaran rupiah, tanahnya tersebar di mana-mana, sementara rumahnya ditaksir lebih dari setengah miliar. Belum terhitung puluhan truk, mobil pick-up, serta beberapa mobil pribadi. Kendati sekarang berhasil mewujudkan cita-cita ayahnya, seorang petani miskin yang menginginkan anak-anaknya hidup enak, Noto Sucipto tetap rendah hati. Maklum, sebelum menjadi pengusaha pengumpul kertas bekas ia hanya seorang kuli panggul di stasiun kereta Tugu, Yogyakarta. Bahkan, ia pernah menjadi buruh tani dan kuli gendong. Usaha mengumpulkan kertas bekas dirintisnya 1979. Dengan modal Rp 300.000, pinjaman dari tetangganya, Sucipto mulai membeli kertas bekas dari para pemulung. Kecil, memang. Tapi buat lelaki yang lahir dari keluarga miskin di pelosok Gunung Kidul, Yogya, utang itu terasa besar. Soalnya, sebagai kuli panggul yang berpenghasilan tidak menentu, Sucipto harus mengembalikan pinjaman itu dengan anakan (bunga) 10%. "Tidak seperti kuli panggul zaman sekarang, waktu itu belum banyak orang yang mau menggunakan jasa kuli di stasiun kereta," katanya. Satu-satunya modal untuk memulai usaha sebagai pengepul, selain uang pinjaman, hanya kerja keras dan keyakinan akan berhasil. Berangkat dari keyakinan tersebut, anak kedua dari lima bersaudara ini berani meninggalkan pekerjaan kuli panggul yang sudah ditekuninya sejak 1958. Hasilnya luar biasa. Dengan dukungan para tetangganya, yang juga berprofesi sebagai pemulung, Sucipto dalam sehari bisa mengumpulkan kertas bekas sebanyak 10 ton. "Waktu itu untung bersihnya sehari bisa mencapai Rp 70.000," kata Sucipto. Keruan saja hatinya berbunga-bunga. Sebab, ketika masih jadi kuli, penghasilannya cuma Rp 5.000 sehari. Kerja keras sebagai pengumpul kertas bekas yang dilakoni hingga sekarang ini memang tak sia-sia. Sekarang, 21 tahun kemudian, UD Pusaka milik Sucipto rata-rata setiap harinya mampu mengumpulkan 30 ton kertas bekas.  


Dari hasil menjual kertas bekas itu, 1995, Sucipto membeli tanah seluas 1.600 M2 untuk membangun gudang baru. Gudang baru ini mampu menampung kertas bekas sebanyak 500 ton. Kebutuhan gudang ini sejalan dengan makin banyaknya setoran kertas, baik langsung dari pemulung, pengepul, langsung dari kantor-kantor, penerbitan, atau koran dan majalah bekas yang tidak terjual di pasaran. "Bahkan, pengepul dari Cilacap, Purwokerto, Gombong, Magelang, Purworejo, dan Solo pun rajin mengirimkan paket kertas bekas ke sini," kata Sucipto bangga. Di bawah UD Pusaka, Sucipto kini mampu mempekerjakan 10 orang supir dan 24 orang karyawan. Untuk supir, Sucipto menggaji setiap bulan Rp 175.000 plus uang harian Rp 23.000. Sedang karyawan gudang tugasnya adalah menyortir kertas dan mengangkutnya ke mobil. Mereka setiap hari menerima upah Rp 20.000 ditambah uang bulanan Rp 90.000. Karena merasakan susahnya bekerja sebagai kuli, tak heran bila Sucipto sebagai juragan ikut pula mengangkat-angkat kertas bekas bersama kuli lainnya. Rupanya, pengalaman menjadi kuli tak membuatnya menjadi sombong karena statusnya sebagai orang kaya baru.

Nekat menyerahkan hidup pada nasib
Hasil yang dinikmati Sucipto tentu bukan tanpa kerja keras. Sejak 1955, bersama saudara-saudaranya Sucipto mulai bekerja secara serabutan. Pernah menjadi buruh tani bagi tetangga-tetangganya yang lebih kaya dan punya lahan pertanian. Ketika musim buah tiba, Sucipto muda pun beralih profesi, menjadi kuli gendong. Tak tanggung-tanggung, ia harus memikul buah srikaya seberat 40 kg sejauh 40 Km dari Gunung Kidul ke Pasar Beringharjo di Yogyakarta. Pagi-pagi buta, Sucipto harus berangkat dan baru tiba di Yogya sore hari. "Kalau nasib baik, dagangan itu akah habis kira-kira jam 19.00," ujarnya. Begitu dagangan habis, Sucipto langsung kembali ke desanya dengan berjalan kaki lagi, dan baru tiba keesokkan harinya. Begitulah, selama tiga tahun, seminggu tiga kali pulang pergi berjalan kaki dari Gunung Kidul-Yogya. Ketika usianya menginjak 25 tahun, Sucipto memutuskan untuk tinggal di Yogyakarta. Tapi ya itu tadi, penghasilannya sebagai kuli panggul tak cukup untuk makan. "Sering, penghasilan sehari untuk makan saja tidak cukup," katanya. Karena itu lah Sucipto bersama beberapa temannya nyambi berjualan beras di pasar Kranggan, sekitar 1,5 km dari stasiun Tugu. Sebagai kuli, Sucipto memang tergolong perkasa. Sekali angkut, tangan kanan dan kirinya bisa mengangkat beras masing-masing 1,5 kuintal. Tapi, apa boleh buat, penghasilannya tetap saja tidak tetap. Toh, dari sana intuisi bisnis Sucipto terasah. Apalagi pembeli berasnya banyak berasal dari Surabaya, tempat di mana nantinya Sucipto memasok kertas bekas untuk didaur ulang. Bekerja mengandalkan otot ternyata tak banyak membawa perubahan dalam kehidupan Sucipto. Setelah kepercayaan dan hubungan dengan teman-teman berhasil diraih, Sucipto banting setir ke dunia rongsokan. Ini bukannya tanpa risiko. Sebab, dalam sehari Sucipto harus berhasil me-ngumpulkan 10 ton kertas bekas. "Kalau tidak bisa, kontrak saya akan diputus," katanya. Karena modalnya pas-pasan, setiap selesai membeli, kertas bekas yang terkumpul langsung disortir berdasarkan jenisnya dan pada hari yang sama dikirim ke pabrik daur ulang di Surabaya. Kalau tidak begitu, ia tidak punya modal untuk membeli kertas bekas yang disetor pemulung keesokan harinya. Beruntung bisnis sampah yang biasa dijauhi pengusaha itu bisa disulap menjadi mesin penghasil rupiah. Kendati begitu, ia tak menghambur-hamburkan uangnya. Setelah dipakai untuk mencukupi kebutuhan hidup minimal seperti biasanya, sisa uang itu ditabung. Dengan begitu, kian hari bisnisnya kian berkembang. Setahun setelah menggeluti bisnis lapak, Sucipto berhasil mengantongi hak pakai tanah makam Cina seluas 400 meter persegi di daerah Badran. Waktu itu ia cuma menyewa tanah tersebut dengan harga Rp 400.000 selama sepuluh tahun. Di atas tanah itu lah Sucipto kemudian membangun gudang sederhana beratap seng untuk pertama kalinya. Seperti biasanya, tanah hoki itu pun masih dipertahankan sampai sekarang sebagai gudang merangkap kantor sederhananya.

Ilmu Pengusaha Semester Tiga
Terlahir dari keluarga miskin di desa, wajar bila Noto Sucipto tak berpendidikan. Tapi, itu tak membuatnya kehilangan rasa kepercayaan diri. Kendati cuma berpendidikan hingga kelas tiga Sekolah Rakyat (kini SD), Sucipto selalu menyebut dirinya jebolan semester tiga. Karena merasa tak mampu dan kurang pendidikan ini lah Sucipto baru berani melepas masa bujangnya usia 33 tahun. Istrinya bukan orang jauh, tapi bakul tetangganya berjualan beras di pasar. Beristrikan sesama pedagang membuat langkah Sucipto berbisnis makin mantap. Istrinya berjualan di rumah, sedang dirinya meniti karier di bisnis rongsokan. Dari istrinya ini Sucipto dikaruniai tiga orang anak. Dua di antaranya mengikuti jejak sang bapak, menjadi lapak kertas bekas. Memang diakui oleh Sucipto, hal ini tak terlepas dari pendidikan anak-anaknya yang cuma sampai di bangku Sekolah Dasar. "Maklum, lahirnya di zaman saya masih susah," kata Sucipto. Tapi, itu tak berarti Sucipto berkecil hati. Sebab, dari anak-anaknya sudah terlahir para cucu yang kelak sudah disiapkan oleh kakeknya untuk meneruskan kerajaan bisnis kertas bekas. Sebab, Sucipto memang sudah mendapat julukan Raja kertas bekas dari Yogyakarta. Nah, kepada para anak dan cucu ini lah Sucipto menurunkan ilmunya: kerja keras dan kejujuran. "Sebab, saya tidak pandai, saya ini cuma bejo (untung)," kata Sucipto merendah.

(sudah dimuat di Kontan Edisi 5/V tanggal 23 Oktober 2000)

Senin, 12 Maret 2012

JENIS KERTAS dan HARGANYA


HVS : Rp2000 ( putih polos)
Kertas masih utuh sisa cetak rol atau rotasi, yang tidak bisa di sambung lagi di mesin










Box atau Kardus : Rp1.000
Jenis kertas bekas ini sangat populer dan sangat mudah dijumpai di pertokoan, grosir maupun eceran, supermarket, minimarket, atau bahkan produsen ( pabrik) karton box itu sendiri. Termasuk jenis kertas kerdus ini juga adalah box bekas produk-produk elektronik seperti komputer, tv dan vcd, radio tape, rice cooker, dispenser, setrika, motherboard dll.






SWL atau HVS SWL : Rp800
kertas HVS yg terbuang dr printer, photocopy/ ada tinta







Kertas Koran : KORAN : Rp700
Adalah sangat mudah bagi kita mendapatkannya, terlebih lagi mereka yang suka berlangganan koran pagi. atau kertas koran west cetak kertas yang gagal cetak









BUKU TELP: Rp800









Duplex DUPLEK: Rp300
Istilah duplex ini, dan memang sangat tidak familiar di telinga orang awam untuk nama kertas yang satu ini. Bisa jadi sebenarnya anda sering menjumpainya, bahkan menyukai bentuknya. Namun anda tidak mengetahui nama asli kertas tersebut. Mungkin anda tahu kertas warna, amplop warna, pamflet atau brosur, kartu garansi, kertas majalah, kertas kwitansi, faktur atau apa saja yang tidak termasuk kardus dan hvs ataupun kertas koran maka kertas itu dikatagorikan sebagai kertas duplex

Kertas Mix/ As: Rp300 ( termasuk majalah)
Kertas ini umumnya didapat dari bungkus sebuah produk seperti bungkus rokok, susu, kue kering dll. Jadi sepintas mirip dengan karakteristik kertas duplex, bahannya agak kaku dan keras. Dan juga kertas sisiran dari sisiran buku, majalah jadi yang di sisir, didalam kertas sisiran tadi ada, HVS, Art Paper, Art karton ( cover Buku) . Campur.




Bila anda berminat silahkan hubungi kami Hp. 081245093478 / 022-61141686


*Syarat & ketentuan yang berlaku

- Kondisi Kertas kering dan bersih
- Kami akan menjemput barang langsung ke tempat anda dengan berat minimal sebesar 2.000 Kg.
- Kami akan mengangkut barang anda dengan menggunakan truk
- Kami akan menimbang berat kertas anda di tempat kami.
- Sistem Pembayaran  Carry and Cash
- Harga sewaktu-waktu dapat berubah

Harga se waktu2 bisa Berubah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.